Immediate-Self Improvement


8 Juli 2016 jam 00.07. Bismillah, akhirnya saya memutuskan untuk mengaktifkan blog ini lagi insya Allah.

Dalam model perbaikan diri yang pernah saya pelajari dulu di PPSDMS Nurul Fikri, dalam memperbaiki diri setidaknya kita akan berhadapan dengan tiga proses berikut secara sekuensial. Self Awareness – Self Acceptance – Self Improvement. Kapan-kapan saya ingin menulis tiga prinsip ini agak panjang, tapi singkatnya saya mau cerita sedikit buat yang belum pernah denger.

Self Awareness berarti proses ‘tau diri’. Tidak ada cara lain untuk bisa ‘tau diri’ selain dengan cara melakukan komparasi diri kita saat ini dengan sesuatu. Setidaknya ada empat cara untuk melakukan komparasi diri.

  1. Komparasi diri dengan Standar Ideal
  2. Komparasi diri dengan Kita di Masa Lampau
  3. Komparasi diri dengan Orang-orang lain yang memiliki starting point yang tidak jauh berbeda (umur hampir sama, angkatan tidak jauh berbeda, dlsb), atau
  4. Komparasi diri dengan Visi Diri Kita Kedepan

Bagi saya keempatnya caranya tersendiri yang manjur untuk menampol diri saya. Sediakan waktu-waktu berfikir untuk men-defrag kembali otak kita, memetakan ulang aktivitas kita, menyadari apa saja hal yang penting namun selama ini luput kita kerjakan. Output terpenting dari proses refleksi ini tentu saja : tau diri. Tau diri kalau abis Ramadhan QL-nya ngos-ngosan lagi, tau diri kalau sedekahnya udah makin pelit lagi, tau diri kalau tilawah dan muroja’ah-nya mulai bolong-bolong lagi, dan seterusnya (itu mah saya ya)

Proses kedua adalah Self Acceptance. Menerima apa yang sudah sudah kita evaluasi sebelum dengan sebenar-benarnya adalah kesalahan diri kita seorang diri, tanpa excuse apapun! Seringkali banyak orang yang merasa sudah self acceptance tapi masih nyalahin faktor eksternal, cari excuse mulu kerjaannya.

Iya, saya ngerasa banget Ramadhan kemarin gak optimal..tapi ya gimana lagi kemarin jadwal di kantor unpredictable banget..

Mohon maaf ya Pak, Bu ndak bisa mudik…buyung jatah cutinya udah habis, uang beli tiket juga udah kepake buat bla bla bla..

Maaf ustadz, cuma bisa setoran tiga ayat aja…ini salah ana ustadz, kemarin ibu satu pekan minta diantar silaturrahim ke saudara-saudara terus…

Saya masih inget pesen Pak Arif Munandar dulu, kalau masih tetap mengakui kesalahan tapi masih bawa kata-kata ‘tapi’, ‘gimana lagi’, dan semua saudaranya tersebut..Jangan bermimpi akan ada perubahan!

Proses terakhir yang bernama self improvement, tentu adalah call to action dari perbaikan itu sendiri setelah menjalani proses self awareness dan self acceptance. Namun dalam praktiknya self improvement ini perlu ditambahkan satu kata didepannya : ‘immediate-self improvement‘. Karena kita manusia, maka self awareness dan self acceptance ada masa kadaluarsanya. Karena selalu ada hal-hal yang menjadi ‘penggoyah’ baru semangat perbaikan kita, belum lagi intervensi syaithan yang tentu punya kepentingan lebih untuk menggagalkan perbaikan diri kita.

*ternyata panjang juga cerita beginian* 😀

Ya, pada intinya pada saat Ramadhan lalu saya menemukan sebuah momen sekaligus menjadi trigger yang cukup kuat untuk memperbaiki diri, kematian salah satu sahabat terbaik saya di Fasilkom UI angkatan 2007, Alm. Enrico Budianto. Kalau saya nulis tentang Enrico seperti saya duluuu banget pernah nulis tentang Jay di tulisan ini, mungkin bisa gak habis satu tulisan ini untuk menulis seberapa hebatnya beliau. Alumni SMAN 8 Jakarta, IPK tertinggi kedua se-UI di angkatan saya, kerja di salah satu perusahaan bonafid untuk anak Fasilkom UI, PHD Candidate di NUS Singapore di umur beliau yang masih belum sampai 27 tahun, bahkan terakhir sedang menjalani masa internship di Intel, USA. Enrico benar-benar punya semua syarat untuk jadi orang sukses. Beliau juga salah satu penggiat dakwah di Fasilkom dulu, salah satu yang memperjuangkan DAF (Dauroh Awal Fakultas) bisa dilakukan di luar kota lagi. Alhamdulillah, saya bisa ikut serta menshalatkan beliau dan memakamkannya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu…

Sepulang dari pemakaman beliau, saya sadar betul, Allah bisa saja memanggil saya kapanpun. Maka saya ber-azzam pada diri saya sendiri empat hal.

  1. Harus rekap semua hutang piutang yang teringat dan share catatan tersebut ke istri
  2. Belajar kaifiyat merawat jenazah (dari empat proses yang wajib, seluruh sunnah-sunnahnya, doa, dlsb) guna menyiapkan sebaik-baiknya untuk diri sendiri maupun keluarga
  3. Belajar dari alm. Enrico yang memiliki sifat kesungguhan dalam belajar dan bekerja keras dalam apapun. Maka saya bertekad untuk meneladani semangat beliau kembali.
  4. Menulis catatan, peristiwa, dan hikmah kehidupan, berharap menambah amal jariyah yang masih sangat jauh. Memang sepele, penting gak penting, tapi setelah dipikir-pikir, apalagi yang bisa ‘berbicara’ setelah kita wafat selain tulisan yang kita tinggalkan? Daripada gak nulis sama sekali?

Alhamdulillah satu dan dua sudah dilakukan, dan terus dilakukan. Tiga, insya Allah sedang dan terus diproses. Long live struggle. Empat, mudah-mudahan postingan ini menjadi immediate-self improvement yang bisa lakukan hari ini, dan berlanjut konsisten setelahnya.